Penulis: Omar Alfatih
Sumenep – Menarik kita diskusikan bagaimana perkembangan demokrasi Sumenep pada hari ini. Dimana pada tahun ini akan melaksanakan pilkada yang sudah barang tentu mencuat isu kuat akan terjadi calon tunggal petahana yang akan disandingkan dengan wakil dari PKB.
Ya, duet semangka kembali terjadi, sebuah koalisi elektoral di Sumenep yang sebelumnya juga sukses menghantarkan PKB-PDIP, Busyro-Fauzi. memimpin Sumenep. Dan koalisi itu diyakini akan kembali terjadi pada momen pilkada tahun ini, yakni Fauzi-Imam Hasyim (PDIP-PKB).
Sebelum rekomendasi PDIP turun, isu calon tunggal memang sangat kuat ditengah-tengah masyarakat, elit dan anak muda. Dimana memang kekuatan PDIP yang sangat dominan (kata masyarakat di tempat ngopi “terutama dari sisi finansial”) tidak bisa ditandingi oleh kekuatan politik lain. Sekalipun itu oleh partai besar sekaliber PKB.
Semua berfikir pragmatis tentang uang atau lebih kerennya cost politik yang besar. Dan terbukti, dari dinamika politik yang memang terlihat adem ayem dari partai-partai lain akhirnya rekomendasi PDIP turun ke petahana dengan wakilnya dari PKB.
Disusul kemudian juga oleh PPP (yang katanya juga sudah turun rekomendasinya ke petahana) maka selesai sudah pilkada Sumenep. Dimana pasangan Fauzi-Imam Hasyim (PDIP-PKB) nantinya akan berlaga pada kontestasi pilkada Sumenep melawan lumbung kosong. Lagi-lagi, kata masyarakat di Sumenep “tinggal nunggu pelantikan”.
Melihat demokrasi hari ini, memang sangat miris dan mengecewakan. Hal ini terlihat dari proses seleksi atau penentuan pemimpin yang masih jauh dari proses berkualitas. Meski hal ini masih debatable tapi terlihat jelas bagaimana sebuah proses yang masih menggunakan cara-cara yang feodal, paternalistik dan individualis.
Rakyat hari ini hanya punya kewenangan memilih, tanpa tahu bagaimana proses pemimpin itu diseleksi kemudian muncul ke publik dengan ide-ide dan gagasan yang progresif. Semuanya sudah di setting dengan kemauan dan kehendak para elit yang punya modal dan kekuasaan.
Kemudian apa bedanya kepemimpinan hari ini secara etis, nilai, moral, dengan model kepemimpinan masa lalu?
Ini memang bukan kemunduran demokrasi, tapi rusaknya moralitas intelektual dalam sebuah kepemimpinan. Dimana barometer kualitas diri hanya dilihat dari sisi kekuasaan dan materi saja. Diluar itu harus tunduk dan patuh tanpa bisa berbuat apa-apa secara substantif dan fundamental.
Era post-modernisme hari ini, kita memang masuk pada penjajahan teknologi, ekonomi dan media. Pada dasarnya Kekuasaan sudah dijalankan oleh tiga unsur tersebut. Semuanya bisa di atur oleh uang, dijalankan oleh teknologi dan dikendalikan oleh media.
Demokrasi hanya tinggal sebatas tiang tua yang mulai rapuh dan hampir roboh, karena nilai-nilai didalamnya sudah tidak di jalankan lagi. Kemarin, ada beberapa kelompok mahasiswa yang menyuarakan aspirasinya. AMPS misalnya, menyerukan pesan moral kepada pimpinan parpol agar tidak terjadi calon tunggal.
Respon publik terutama elite yang sudah tergabung dalam koalisi mungkin sinis, tapi ini adalah peringatan moral intelektual bahwa kekuasaan dan kepemimpinan di Sumenep sudah diperbudak oleh hal-hal yang pragmatis. Jangan heran kemudian, jika banyak nantinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populis dengan mementingkan kelompok dan golongan. Dan yang pasti, praktik-praktik transaksional dalam pemerintahan akan semakin masif.***